Selasa, 31 Maret 2015


Sahabatku Dalam Kenangan
Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung menggayuh sepeda untuk pulang ke rumah. Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tau. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada ditaman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghapirinya.
“Hai…..”, kataku
Dengan senyum aku menyapanya.
Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.
“Hai.. boleh kenalan gak?”.
“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Nanda”, sambil mengulurkan jemariku.
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
“Namaku Vira”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-begini saja”, pintaku.
“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Vira. Kami berjalan mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan candaan yang cukup untuk mengocoperut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena arah rumah kami searah. Vira berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Vira kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Vira… Vira… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Nanda aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.“Ya bu.. tunggu!, Nanda aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya...”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan seorang gadis, apalagi gadis seperti Vira”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.
Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku.
“Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
***
Keesokan paginya aku bertemu dengan Vira, ternyata sekolahku sama dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghapirinya.
“Vira… Vira…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Vira berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang di tutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Vira juga sekelas dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Cindy teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Vira naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Vira Anastasya, panggil aja aku Vira. Aku baru pindah dari Bandung kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen, mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***
Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah Vira. Tapi, Vira sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat Vira dan langsung menghampirinya.
“Nanda, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Ancol pun datang. Aku duduk bersebelahan dengan Vira . Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki firasat buruk, dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Vira. Aku langsung berteriak dengan nada yang lemah. “Vira.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku hendak menghampiri Vira, aku melihat kepala Vira mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku pingsan.
“Nanda, Nanda, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan berteriak.
“Dimana Vira Bu? Vira baik-baik sajakan Bu?”.
Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Vira sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Vira telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “ kenapa dia terlalu cepat meninggalkanku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat bagaimana pertama kali aku bertemu Vira hingga kami akrab menjadi sahabat. Kini, biarpun dia tak lagi bisa kulihat tawa dan candanya, dia akan selalu ada dalam kenanganku. Kenangan bahwa aku pernah mempunyai sahabat terbaik seperti dia. Semoga dia bahagia disisiNya.
-Sekian-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar